Sabtu, 16 April 2005

Aku Benci Kamu

 Siang kota Bogor hari itu begitu cerah. Udara terasa lebih sejuk dari biasanya dengan sinar matahari yang sekedar menerangi. Lalu lalang manusia di sepanjang trotoar tak kalah ramai dengan mobil-mobil yang berhamburan di badan jalan aspal. Rupanya suasana yang sedikit berbeda ini tak ingin dilewati begitu saja, dengan ceria mereka menikmati hari. Orang-orang terlihat lebih bersemangat hari itu.


Begitu pula dengan seorang gadis ayu di sebrang jalan sana. Dengan tas di pundak kirinya dan beberapa buku dalam pangkuan tangannya, gadis itu berdiri tenang menanti mobil jemputannya untuk menuju pulang. Angin sepoi-sepoi yang menerpa rambutnya membuat ia tampil lebih anggun. Wajah ayunya terus tertepa udara sejuk hari itu. Dan tetap bertahan anggun hingga seluruh kawan-kawan sekampusnya pergi meninggalkannya seorang diri.

Hari semakin sore, pelataran kampus sudah mulai sepi. Orang-orang yang berlalu lalangpun mulai surut. Entah untuk yang keberapa kali gadis itu menatap jam di pergelangan tangannya sambil sesekali memainkan ponselnya. Wajahnya mulai tampak gusar ketika matahari mulai memerah. Lalu tampak tangannya mulai melambai pada kendaraan-kendaraan umum, namun tak satu pun yang berhenti. Hampir setiap kendaraan yang melalui jalan itu selalu penuh jika hari mulai menuju malam minggu. Ia tampak semakin kesal saja.

Hari benar-benar telah senja. Lampu-lampu di sepanjang sisi jalan telah menyala. Gadis itu tetap saja tak mendapat tumpangan pulang. Sesaat ia menarik nafas lega ketika sebuah kendaraan umum berhenti menyambut lambaian tangannya, namun tiba-tiba tersentak terkejut mendengar sebuah klakson panjang dari sebuah sedan hitam di ujung jalan. Ia hafal betul mobil itu. Dengan tersenyum ia berucap, “Maaf, Mang, tidak jadi, mobil jemputan saya sudah datang. Senyumannya dibalas kecut oleh supir kendaraan umum tersebut, dan sambil membanting setirnya, mobil itu kembali melaju di jalan raya.

Dalam hitungan detik, mobil yang dinantinya sudah berada di hadapannya. Tapi, tak seperti biasa, mobil itu hanya berhenti saja. Tak ada sopir yang keluar untuk membukakan pintu pada majikannya itu. Dengan sedikit kesal, gadis itu membuka sendiri pintu depan mobil itu, lalu masuk ke dalamnya tanpa menoleh sedikitpun pada sang sopir. Rupanya gadis itu mulai kesal. Namun, tetap saja jiwanya yang ramah tetap terpancar dengan terbungkamnya mulut sang gadis itu dari sebuah omelan pun. Bahkan ia tetap memilih duduk di depan bersama sang supir, tanda ia sangat menghargai sopirnya itu, tak seperti banyak orang yang enggan duduk bersama sopirnya.

Belum sempat ia menikmati duduknya, tiba-tiba ia harus dikejutkan lagi oleh laju kendaraannya sang sangat mendadak. Sesaat gadis itu berteriak terkejut, namun tersendak melihat wajah orang yang memegang kendali mobilnya.

“Hei! Siapa kamu?! Kemana mang Udin?! Hei! Hentikan mobil ini! Hentikan!, teriak gadis itu, namun tak dipedulikan oleh pemuda yang mengemudikan mobil itu, malah kecepatan mobil itu semakin ditambah. “Hei, cukup! Hentikan! Hentikan mobil ini! Hentikan! teriak kembali gadis itu yang tetap tak dipedulikan oleh pemuda yang memegang setir di sampingnya. Mobil itu terus melaju pada kecepatan tinggi melintasi jalan kota. Lalu tiba-tiba berhenti disebuah taman kota. Tanpa menoleh pada gadis di sebelahnya, ia menghentikan mobil itu begitu saja, lalu terdiam. Gadis itu dengan dahi mengkerut dan wajah yang geram tetapi takut itu pun turut terdiam. Sambil mencoba menarik napas lega, gadis itu bertanya setengah teriak,“Siapa kamu?! Apa maumu?! Kemana mang Udin?!

Mendapat tubian pertanyaan yang dengan teriakan itu, pemuda itu tetap tenang. Lalu sambil berkata tenang, ia mulai menatap wajah gadis itu,  Tak perlu berteriak, aku bisa mendengar suaramu dengan jelas  Tenanglah.

“Ta.. Tapi, siapa kamu?, tanya gadis itu kembali.

“Aku adalah cinta, jawab lelaki itu masih dengan tenang.

“Cinta?, dahi gasis itu semakin mengerut.

“Dhillah, lirih pemuda itu menyebutkan sebuah nama.

Gadis itu terkejut setengah mati mendengar sebuah nama itu. Wajahnya yang telah memerah sejak tadi semakin memerah. Matanya yang semula menggambarkan amarah dan ketakutan kini berubah menjadi berkaca-kaca. Dalam hidupnya hanya ada satu orang di dunia ini yang memanggilanya dengan sebutan itu, Dhillah.

“Kha.. Khaje, tanya lirih gadis itu seakan tak percaya.

“Ya, ini aku, Dhillah, jawab pemuda itu sembari mencoba memeluk tubuh gadis itu yang tak segera dibalas, namun gadis itu diam saja tak percaya pada apa yang dialaminya saat itu. “Dhillah lirih pemuda itu lagi tepat di sisi telinga wanita itu.

“Kha.. Khaje!, gadis itu kini membalas pelukan lelaki itu dengan pelukan yang sangat erat. Namun pelukan itu tidak berlangsung lama, tiba-tiba gadis itu melepaskan pelukannya, “Ti.. Tidak! Tidak!, teriaknya kembali sembari berusaha membuka pintu mobilnya sambil berlari cepat menjauh.

“Dhillah! Dhillah! Tunggu!, kini lelaki itu turut berteriak memanggil Dhillah sambil berusaha menyusul lari gadis itu.

Belum terlalu jauh dari area taman kota itu, Khaje telah berhasil menggapai tubuh Dhillah.

“Dhillah! Dhillah! Jangan pergi‚ lirih Khaje sesaat setelah berhasil merengkuh tubuh Dhillah dan memeluknya erat. Dhillah tidak berkata-kata untuk sesaat, yang terdengar hanyalah tangisan derasnya. “Dhillah, lirih Khaje kembali.

“Ti.. Tidak mungkin! Tidak mungkin! teriak Dhillah dalam isakannya.

“Maafkan aku, Dhillah, lirih Khaje menjawab teriakan Dhillah sambil melepas pelukannya dan menatap dalam wajah Dhillah.

“Kemana saja kamu selama ini?! Kamu pergi begitu saja! Tidak ada kabar, tidak ada surat! Bahkan bahkan aku mengira kamu sudah mati.  Dan kini begitu saja kamu datang kembali. Kamu pikir semudah itu kamu dapat mempermainkan aku?, dalam tangisannya Dhillah terus berkata-kata, “Cinta itu sudah hilang bersama kepergianmu! Sekarang aku, aku...aku sudah tidak mencintaimu lagi! Sebaiknya kamu pergi saja sekarang! Pergi dari hidupku dan tidak usah menggangguku lagi! Apa sebenarnya yang kau mau dariku?! Aku mohon jangan ganggu hidupku

Dhillah... Sejak dulu kamu tak pantas dan tak pernah pantas untuk marah Kamu terlalu anggun dan baik untuk itu. Kebencianmu hanya sesaat. Dan aku tahu, amarahmu akan segera reda Segera reda. Sesaat setelah kemarahanmu.  Dan kamu akan kembali seperti semula, lirih Khaje yang disertai dengan terdiamnya Dhillah. “Aku sayang kamu. Aku cinta kamu, Dhilah.. Maafkan aku, ucap Khaje sembari memeluk tubuh Dhillah. Tak seperti sebelumnya, kali ini Dhillah langsung membalas pelukan Khaje, lebih erat dari sebelumnya.

“Aku juga cinta kamu, lirih Dhillah.

Keajaiban dari sesuatu yang ada dalam diri sepasang anak manusia terpancar malam itu ditengah kota Bogor. Sampai larut mereka membayar rindu yang tertunda selama bertahun-tahun. Tak banyak kata yang terucap dari mereka malam itu. Sejuk udara kota Bogor cukup menjadi pencerita tentang rindu sepasang hati.

* * *

“Khaje, maaf aku tak bisa mengatakan ini semua langsung kepadamu Bacalah surat ini.., lirih Dhillah dengan mata yang berkaca-kaca, lalu pergi meninggalkan Khaje.

“Dhillah! Dhillah!, teriak Khaje memanggil Dhillah. Dhillah terus melaju dan melaju. Tak menoleh sedikitpun. Hingga hilang tertelan jarak.  Ada apa ini?, galau Khaje dalam berdirinya menatap jejak langkah Dhillah.

Dengan resah ia membuka surat itu dan membacanya

Masa kanak-kanak itu kini sudah tiada lagi. Kita telah sama-sama dewasa! 8 tahun rupanya bukanlah waktu yang sebentar. Ia telah berhasil merubah segala yang kita lihat. Rumput-rumput itu kini sudah menjadi aspal. Pagar bambu yang dulu mudah kita rusak kini sudah menjadi tugu beton kokoh yang angkuh. Segalanya sudah berubah sekarang, dan semuanya tak bisa kembali lagi, termasuk masa kanak-kanak kita dahulu. Angin sepoi-sepoi yang dulu berhembus kini sudah menjadi badai. Dan jika cinta tak mampu menghentikan badai itu, lebih baik kita yang berganti arah.

Dhillah

Seakan remuk hati Khaje membaca itu semua. Seorang Dhillah tidak mungkin seperti ini, hal itu yang pertama terbesit di hati Khaje. Dalam kesendiriannya ditengah rumput luas yang tanpa Dhillah, Khaje berucap lirih, “Tuhan, jika memang benar masa kanak-kanak itu tak bisa kembali.  Paling tidak izinkanlah cinta itu kembali  Dan jika cinta tak mampu menghentikan badai Izinkan cinta itu turut mati bersama badai itu, hingga aku takkan menemukan cinta itu lagi. Tapi, aku yakin, cinta mampu menghadapi segalanya. Ya, walaupun harus mati didalamnya Tuhan. Khaje lalu meremas secarik kertas yang tadi dibacanya, lalu dengan senyum yang entah menyiratkan apa ia melangkah menyusul langkah Dhillah yang entah telah sampai mana

Aku Benci Kamu

Bel pulang sekolah telah berbunyi nyaring. Dhillah berjalan terburu-buru, bahkan hampir berlari. Wajahnya penuh dengan amarah dan kekecewaan. “Dhillah! Dhillah! Tunggu! teriakan Jeje seolah tak didengarnya. Dhillah terus melaju tanpa menoleh. “Dhillah! Tunggu dulu! Ada apa ini?! tiba-tiba langkah Dhillah tertahan oleh sepasang tangan yang memegang erat pundaknya.


“Sudahlah! Tidak ada lagi yang harus dijelaskan. Dan tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan! kata-kata itu mengalir lancar dari lidah Dhillah sambil menatap Jeje penuh kebencian.“Ta.. tapi  ada apa ini?! Jeje mengerutkan dahinya.

“Tolong jangan lagi mengganggu aku! Sejak saat ini kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi! Dan itu pilihan kamu! Selamat tinggal! seluncuran kata kembali terucap oleh Dhillah sebagai jawaban atas pertanyaan Jeje. Lalu ia pergi dengan cepat meninggalkan Jeje yang berdiri kaku penuh kebingungan.

“Dhillah..! Dhillah..!kembali Jeje memanggil Dhillah yang terus menjauh dan menjauh, namun Dhillah tetap berlalu.

***

“Kring.. Kring.. dering telepon berbunyi nyaring. Dhillah mengangkat telepon itu dengan penuh enggan.

“Haloo Dhillah?... suara lirih diujung telepon sana ketika telepon diangkat. Dhillah diam tak menjawab suara itu. “Dhillah.. Please.. Kita harus bicara “Tut… Tut...Tut... tiba-tiba telepon terputus. Jeje yang berada disudut telepon sana mencoba kembali menghubungi telepon Dhillah, namun tak ada lagi yang mengangkatnya. Beberapa kali dicobanya, hasilnya tetap nihil.

***

Bel istirahat berbunyi lantang, membuat suasana sekolah menjadi ramai seketika. Jeje mencoba menghampiri dan menyapa Dhillah. Namun seperti orang yang belum mengenal, Dhillah tidak menanggapi sapaan Jeje. Ia begitu beku. Sementara Jeje hanya dapat berdiri kaku. Sampai seluruh jam pelajaran hari itu habis dan seluruh sekolah telah sepi, Jeje terus termenung disudut kelas, sementara Dhillah tetap beku dan tak tahu tengah berada dimana.

***

“Haloo.... ucap Dhillah menganggkat teleponnya.

“Dhillah, please.. Kita harus bicara.Tut… Tut… Tut...Dhillah langsung menutup teleponnya.

“Haloo... ucap Dhillah kembali mengangkat gagang teleponnya ketika teleponnya kembali berbunyi.

“Dhillah. Please, hentikan semua ini Aku tiba-tiba telepon kembali terputus.

Telepon kembali berbunyi, Dhillah kembali mengangkat teleponnya. Belum sempat terucap kata halo, suara diujung telepon sana telah mendahului,“Dhillah, baiklah, aku minta maaf jika aku bersalah, tapi, lagi-lagi telepon ditutup oleh Dhillah.“Kring.. Kring.. Kring suara telepon menggema ke seluruh sudut rumah Dhillah, namun tak juga diangkatnya, dan deringan-deringan selanjutnya tak lagi terdengar seiring dengan diputusnya kabel telepon oleh Dhillah.

***

Tiga hari berlalu, Dhillah tetap beku dan seolah tak mau lagi mengenal seseorang yang bernama Jeje. Ia terus menghindar dari Jeje, bahkan walau Jeje telah berusaha mendekatinya sekalipun. Jeje tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia terus termenung memikirkan Dhillah. “Dhillah.. Ada apa sebenarnya ini?lirih Jeje dalam hati sambil duduk sendiri di satu sudut sekolahnya.

Lalu mata Jeje menatap tajam pada sekumpulan bunga-bunga mekar dihalaman sekolah. Ia melirik ke segala arah, tak ada penjaga kebun, tak ada guru “Ahh, aman.. ucap Jeje sendiri, lalu memetik sebuah bunga melati dan membawanya kebelakang sekolah. Dirobeknya secarik kertas dari buku tulisnya, lalu ia menulisinya, dan menempelkanya pada tangkai melati itu.

Diakhir jam sekolah, Jeje berlari cepat mengejar Dhillah, lalu berdiri dihadapannya. Kedua tangan Jeje menghalangi Dhillah yang mencoba untuk terus menghindar.

“Dhillah! Dhillah! Baik jika memang itu yang kamu mau. Tapi aku mohon untuk yang terakhir kalinya, terimalah bunga ini, maka aku berjanji takkan mengganggu hidupmu lagi! ucap Jeje sambil menatap tajam mata Dhillah. Dhillah membalas menatap Jeje dengan tak kalah tajam, namun mulutnya tetap bungkam seolah bisu. Jeje kemudian menarik tangan kanan Dhillah, digenggamkannya sepucuk melati itu ke tangan Dhillah, lalu Jeje berlalu pergi meninggalkan Dhillah yang masih berdiri kaku di tempatnya setelah dihadang Jeje sebelumnya.

Dhillah menatap tajam melati yang tengah digenggamnya itu, lalu membuka secarik kertas yang menempel pada tangkai bunga itu. Dalam kertas itu tertulis :

Dhillah, sepucuk melati ini untukmu. Lihatlah melati ini. Melati ini penuh dengan noda dan bercak hitam karena asap knalpot. Begitu juga dengan cinta. Jika ada cinta yang bersih tanpa noda, itu bukan cinta, tapi kepalsuan. Cinta penuh dengan halang dan rintang, yang jika kita mampu menghadapinya, itulah kesejatian cinta.

Jeje

Dhillah membaca tulisan itu, kemudian menggenggam erat sepucuk melati yang memang tengah digenggamnya. Sementara Jeje telah menghilang dari pandangan, pulang ke rumah dengan penuh kekecewaan dan kehampaan.

Aku Benci Kamu

 ima wa mada kanashii love song atarashii uta utaeru made, lantunan merdu lagu First Love-nya Utada Hikaru malam itu tiba-tiba bergema dari satu kamar di sebuah rumah kosan mungil. Jeje tengah berada di ruang tamu tampak mengahayati benar setiap bait dari lirik lagu tersebut. Secangkir kopi panas mengepul di atas meja, menemaninya duduk di sofa bututnya itu.

kenapa loe? Lagi jatuh cinta atau lagi patah hati tiba-tiba nyetel lagu kayak ginian segala? Atau jangan-jangan loe lagi sakit?, tiba-tiba Panji muncul dari balik pintu kamarnya, lalu duduk tak jauh dari tempat Jeje terduduk 

“Enak aja loe bilang gue lagi sakit! jawab Jeje singkat tidak begitu menanggapi pertanyaan Panji.


 Abis, nggak ada hujan nggak ada angin tiba-tiba loe jadi melo gini. komentar panji lagi.


“Eh, Ji, loe percaya nggak kalo cinta pertama itu nggak akan pernah mati?  Jeje justru membalas komentar Panji dengan satu pertanyaan. Wajah Jeje tampak serius.

 “Ya percaya nggak percaya sih  Tapi kalo iblis itu nggak akan pernah mati sampai kiamat, gue percaya, jawab Panji enteng.


 “Gue nanya serius tahu!  gerutu Jeje mendengar jawaban Panji.


 “Yeee, gue juga serius tahu! Iblis itu nggak akan pernah mati sampai kiamat.

 “Iya! Dan loe iblisnya!, Jeje kesal dengan ketidakseriusan Panji.


 “Deuuhhh  Segitu sewotnya Oke deh, oke. Kita serius. So, pertanyaan apa tadi yang mau loe ajukan?  ungkap Panji sambil meraih kopi Jeje lalu meminumnya.


 “Eh, kopi gue tuh! 

“Bagi sedikit, jangan pelit kayak iblis gitu dong Hehehe 


 “Dasar cucu iblis!   lalu Jeje bangkit dari duduknya dan beranjak masuk kekamarnya.


 “Eh, mau kemana loe? Nggak jadi bertanyanya?  tanya Panji.


 “Mau tidur! Percuma gue nanya sama iblis, jawabannya pasti menyesatkan!  jawab Jeje enteng, lalu menutup pintu kamarnya.

“Itu berarti kopi ini buat gue semuanya dong? Makasih, loe emang iblis paling baik yang pernah gue kenal Hehehe


 “Terserah! , tiba-tiba Jeje muncul dari balik pintu kamarnya, “Eh! Tapi jangan lupa cuci tuh gelas!  ucap Jeje singkat lalu kembali menutup pintu kamarnya.


 “Oke deh kakak, tapi loe juga jangan lupa minum obat cacing ya. Hehehe.


teriak Jeje dari dalam kamar, “Sekalian juga cuciin piring bekas gue makan tadi ya, thank before!


Panji balas berteriak, namun kata-kata selanjutnya tidak lagi terdengar oleh Jeje karena alunan musik yang semula pelan tiba-tiba menjadi sangat bergema dari dalam kamar Jeje.


Didalam kamar rupanya Jeje tidak langsung tertidur. Pandangannya kembali menerawang. Lalu tak lama ia beranjak ke meja belajarnya dan menulis sesuatu, Jeje tampak serius sekali menulisi kertas di hadapannya. Lalu dibacanya berulang-ulang tulisannya itu dengan mata yang berkaca-kaca sampai akhirnya ia tertidur di meja belajarnya. Isi tulisan itu :


“Bandung, 15 September 2004


Untuk Dina, semoga suatu saat kau membaca tulisan ini


Dina, aku tidak pernah tahu apakah kau akan membaca tulisan ini atau tidak, karena aku memang tidak pernah mempunyai nyali untuk mengirimkannya kepadamu. Entah aku kekanak-kanakan atau tidak, namun yang jelas sebenarnya aku sangat malu padamu dan pada diriku sendiri untuk menyampaikan semua ini padamu, menyampaikan semua hal yang telah aku pendam sesaat setelah semuanya aku hancurkan sendiri, semua hal yang aku tetap pendam karena keegoisanku.


Dina, maafkan jika aku kembali mengorek luka lama di hatimu, namun kau harus tahu, saat itu, saat bibir ini mengucapkan kata putus, bukan hatiku yang berbicara, melainkan keegoisan, jiwa kekanak-kanakan, dan segala kekhilafanku.Bahkan sesaat setelah itu aku begitu menyesali semua tindakanku, namun keegoisan begitu mendominasi jiwaku saat itu, sedang aku tahu kau begitu sakit dan kecewa dengan semua itu, dan kaupun harus tahu, kini aku sendiri begitu kecewa dengan diriku sendiri atas semua yang telah aku lakukan padamu.


Dina, bertahun-tahun aku tersesak memendam semua keegoisan ini. Bahkan aku terus membohongi diriku sendiri dengan mencari cinta di lain hati. Terakhir, aku hampir tersesat dengan penamaan cinta sejati pada satu hati yang lain. Dan malam ini aku tersadarkan pada semuanya. Mustahil aku dapat temukan kembali cintaku yang hilang jika aku mencari pada hati-hati yang lain, aku baru tersadar jika semua cinta itu telah aku berikan padamu.


Dina, 7 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Dan selama itu aku gelisah! Hidupku seperti kehilangan arah tujuan. Aku begitu kacau! Mungkin sudah teramat terlambat untuk ku raih kembali cinta itu dari hatimu. Dan mungkin semua cinta itu bahkan sudah tidak ada lagi di hatimu, mungkin sudah kau buang jauh, mungkin sudah kau hancurkan dan tercecer begitu saja. Satu kekhwatiran yang sangat, aku takkan pernah dapat merangkai kembali cinta yang telah hancur berkeping-keping itu, bahkan menjadi abu dan debu! Namun bukankah cinta mampu merubah apa saja, termasuk segala kekhawatiranku itu? Ya, dengan cinta, kekhawatiran itu bisa menjadi tidak beralasan. Kesaktian cinta mampu mengabulkan segala permintaan, dan dengan restumu tentunya aku akan bisa merangkai kembali semua kepingan, abu, dan debu itu menjadi satu kesatuan yang utuh. Dan atas nama cinta, aku akan terus berjuang mengembalikan segalanya meskipun harus kunikmati sendiri.


Dina, kau berhak untuk membalas semuanya. Dengan tetap tertutupnya restumu, semua kekhawatiran dan mimpi burukku akan menjadi nyata, dan aku akan terima semuanya selama itu memang memuaskan dan membahagiakanmu. Namun aku yakin, peri kasih dalam dirimu akan tetap bijaksana, dan apapun kebijaksanaan itu, sekali lagi, harus aku terima.


Dina, tak ada salahnya bukan jika aku berharap masih bisa menikmati senyummu setiap saat? Senyuman seorang Dina yang takkan usang dimakan masa. Terakhir, aku hanya dapat berdoa semoga Tuhan mau membukakan pintu hatimu untukku.